Hoffen (Chapter 2)

poster hoffen 1

Cicil presented

Luhan with a girl

Support cast: Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Kim Jongdae, Kim Namjoon, Lee Jieun.

Romance, family

Rated: SU

Disclaimer: all cast and story belong to God.

Chaptered fiction

 

Setelah pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut ayah, Luhan memutuskan untuk mengobrol saja. Diraihnya sebuah gelas dari lemari dan menyeduh black tea—minuman favoritnya.

 

Kembali duduk di samping Tuan Xi, Luhan meneguk minumannya seraya laki-laki paruh baya di sebelah bersua. “Appa dengar, akan ada ujian kenaikan kelas sebentar lagi, benar begitu?”

Luhan mengangguk pelan. Fokusnya pada cangkir masih tidak terlepaskan.

“Hei! Kau ini masih kelas satu menengah atas, bahkan baru enam bulan yang lalu kau merayakan pesta kelulusan di Changsa.” Luhan masih ingat jelas, bagaimana ia menghabiskan tahun terakhir sekolah menengah pertamanya di negera terbesar se-dunia itu.

Mengingat kembali bahwa satu jam setelah pesta kelulusan, Appa membawanya ke Korea—tinggal di Gimpo selama dua bulan dan pindah lagi ke Busan. Disinilah ia sekarang, hari-hari mendekati ujian akhir semester pertama.

Sang iris pekat pun tertawa sejenak, bersenda-gurau dengan sosok ayah memang menyenangkan. “Yeah, sekolah Daeyeong cukup dalam materinya.” Tukas Luhan mengawali topik. “Benarkah? Berarti itu namanya kau harus lebih belajar lagi.”

“Aku selalu belajar,  apalagi pelajaran matematika.” Adu Luhan seperti anak kecil, tambahkan sedikit bumbu kebohongan soal pelajaran matematika. Oke luhan sekali ini saja.

“Bagaimana appa bisa percaya kau selalu belajar, kalau setiap hari pulang jam segini, eoh?”

Luhan meringis, tunjukan giginya saja lantaran tidak tahu harus menjawab apa.

Tuan Xi mengusap-usap dagunya, pasang wajah berpikir dan tinggalkan gelas kopi yang mulai mengendap ampasnya. “Appa tidak melarangmu untuk pulang malam,” ia mengingat masa remajanya dulu yang sama seperti Luhan, main saat malam hari atau berkelahi bukanlah suatu yang asing baginya.

“tapi konsentrasi belajar harus lebih diutamakan.” Lanjutnya. Disambut anggukan anak itu. “Sudah, aku mau tidur dulu. Habiskan black tea-mu dan pergi istirahat.” Luhan menatap ayahnya bangkit berdiri dan gegas berjalan menuju kamarnya, tinggalkan sisa-sisa kalimat perintah berdengung di telinga.

…}o{…

 

“LUHANNN!!!!!” Secepat kilat Luhan mengamankan telinganya dari sang ibu. “Eomma, berhentilah berteriak, nanti suaramu habis.” mencoba menenangkan amukan wanita itu, tapi kata-katanya justru makin memanasi.

Ia mengacak-acak rambutnya-yang-belum-sepenuhnya-kering-habis-keramas itu kesal, sangat memusingkan mendengar omelan eomma ketika pagi begini. Apalagi kalau ia telat bangun, tamatlah sudah riwayat telinganya—diteriaki eomma pagi-pagi, bentakan ibu Kim saat siang, atau pluit Kwon Songsaem yang memekakan telinga kala latihan sore.

“Apa kamu bilang? Suara eomma habis? Kau ini memang anak menyebal—“

Eomma, aku sudah telat masuk kelas!” Luhan pura-pura panik, melirik jam tangannya sekilas dan langsung melesat keluar dari rumah mungil itu. Sebelum nyonya Xi memukulnya habis-habisan.

“Pergi dulu, ya!” kendati suara mesin mobil tengah berkumandang, tak lama kemudian menghilang—tandakan Luhan sudah kabur.

Nyonya Xi hanya bisa menghela nafas mengatur tingkah laku anaknya yang kurang sopan. Apalagi saat dia harus mengandalkan sang pita suara untuk berteriak supaya Luhan bisa kapok, meski kenyataannya laki-laki muda itu selalu mengulanginya.

Ditariknya selembar roti dari toaster dan mengoleskan selai blueberry. Suaminya sudah berangkat sejak mentari bersinar, bahkan sebelum matanya terbangun. Pertikaian kemarin malam membuat suasana agak canggung, sebenarnya Nyonya Xi hanya ingin berbicara baik-baik tapi munkin karena lelah, suaminya jadi kesal.

Ia meneguk segelas air putih, lalu tangannya meraih gagang telepon rumah dan menghubungi seseorang. “Halo? Hanna-ya bagaimana kalau kita mengadakan acara sosialisasi sore ini? Di rumahku, ya.”

 

…}o{…

 

Luhan mematikan mesin mobilnya segera setelah ia melompat keluar dari balik kemudi. Yeah, dia tidak berbohong pada ibu soal kesiangan karena dia benar-benar telat sekarang!

Kedua tungkainya lekas berlari menaiki tangga menuju lantai ketiga—kadang ia masih sempat merutuk, kenapa kelas untuk anak tingkat satu ditaruh di lantai paling atas. Sebelum keluhannya selesai dalam hati—

Brukk!

Menyesal juga, sih, karena tidak melihat jalan malah sibuk berbicara dalam hati.

Luhan segera memutar mata mencari si korban dari kecerobohannya. Lantas bersemayam dalam sosok seorang gadis dengan kuncir kuda. Lekas, ia menekuk lutut dan ikut memunguti buku-buku tulis bersampul kopi yang berserakan. Kesialan pun bertambah mengingat latar tempat buku-buku itu terjatuh tidak datar—di tangga, ada beberapa yang jatuh hingga ke bawah sana.

Sorry,” bisik Luhan disela kesibukan mereka. “Gwaenchanha,” lelaki itu gegas menuruni beberapa anak tangga dan mengambil buku yang tersisa. “Thanks,” ucap gadis itu kala semua buku yang ia bawa telat kembali ke tangannya.

Tatapan keduanya bersiborok dalam satu garis lurus. Luhan terpaku beberapa sekon sebelum tangannya beralih mengambil setengah dari tumpukan buku—sepertinya itu kumpulan buku dari satu kelas. “Biar kubantu bawakan, sekaligus bukti dari permintaan maaf.” Ia tersenyum, sempat mengobrak-abrik isi memorinya karena merasa asing dengan wajah gadis di hadapannya.

Seraya mereka merajut langkah ke ruang guru di lantai dua, obrolan singkat pun tidak dapat dihindari. (Luhan melupakan telat masuk kelasnya.) “Aku tidak pernah melihatmu,” ujar Luhan, simbolkan sebuah pertanyaan yang sedari tadi menempel jelas di dahinya.

“Aku juga,” namun justru balasan tidak berinti yang didapati. “Eumm, bukan itu. Maksudku, apa kau anak baru di sini?” jelas Luhan, dirinya sendiri lupa bahwa ia baru saja menuntut ilmu di gedung tempatnya berpijak tiga bulan lalu. Luhan, kau mirip Yixing sekarang!

“Aku tidak terbilang baru juga di sini. Hanya, sering berkutat di perpustakaan.” Oh, pantas saja. Seumur-umur masa Luhan di sekolah, hati kecilnya sekalipun tidak pernah tertarik untuk menyentuh rak-rak buku berdebu dan menelusuri tiap baris bertuliskan tinta, atau lembaran-lembaran kertas tua yang menguning.

“Aku…Luhan. what’s your name?”

“Jieun,”

 

…}o{…

 

Luhan gegas meraih tas olahraganya, mengambil seribu langkah terbesar untuk sampai ke lapangan sekolah di lantai bawah. Ia kangen, seharian tidak menyentuh bola. Apalagi bunyi pluit Kwon Songsaem layaknya magnet, semakin menariknya.

“Hufft, akhirnya.” Luhan lekas menepuk bahu pak pelatih. Pria itu berbalik dan pasang wajah marah di tiap pori-pori kulit pipinya, seperti siap menginterogasi seorang penjahat.

“Ke mana saja, hmmn?” Luhan hanya bisa tampilkan senyum—andalannya—menghadapi pria seperempat abad itu. Telunjuknya sontak menunjuk ke belakang, “Eh..itu..itu…ibu Kim—“

“Sudah, sudah, cepat ganti bajumu yang jorok itu.”

Setelah berganti baju, pak pelatih mengusulkan mereka untuk berunding sebentar. Bicarakan soal pertandingan dua hari lagi. Mereka tidak akan main di ‘kadang’ sendiri nanti, tapi akan pergi ke Daegu dan bermain di sekolah lawan.

“Luhan, point guard di tanganmu, as always.” Kwon Songsaem kemudian beralih pada Chanyeol, “ Seperti kemarin, posisimu tetap sebagai center.” Lalu pada Baekhyun, “Kau, perhatikan lawan dengan baik, jangan lagi sibuk melirik para cheerleaders.” Marahnya pada Baekhyun, namun sebelum ia beralih, “Jadilah shooting guard yang hebat.” Dingin, tampak tidak peduli, tapi Baekhyun bisa merasakan kalau guru mereka tengah menyemangatinya.

Kemudian ia berpindah pada Namjoon, lalu Jongdae, dan pemain lainnya. Mengatur posisi, bagian mana yang paling empuk untuk digunakan shooting nanti. Juga informasi tentang tim dari Daegu High School dan kelebihan-kelemahan mereka.

Langit mulai tampakan mendung, mentari tidak lagi bercahaya. Iris pekat itu sejenak menangkap warna keunguan di samping awan, bercampur oranye dan kebiruan. Latihan telah usai lima menit yang lalu, dan dia yakin, dia pasti menang.

 

…}o{…

 

Luhan sengaja memarkirkan mobilnya sembarangan. Sesaat setelah dapati keramaian memenuhi rumahnya, ada beberapa kendaraan tinggal di sisi depannya, bahkan ada yang mengisi garasinya. Pasti teman-teman eomma, lagi, tebaknya tepat sasaran.

Ia masuk pelan-pelan, agak mengendap-endap supaya tidak ketahuan dan dipanggil untuk duduk lalu mendengar ocehan mereka yang sepanjang jalan tol, okay, itu selalu membosankan. “Eoh, Luhannie!” sial! Luhan berdiri—menegapkan badannya, menggaruk leher belakang ragu seraya tawa tak mulus keluar dari sudut bibir.

“Hehehe, annyeong eomma, annyeong omoni.

“Eh, tunggu dulu!” kendati anak menyebalkan itu sudah melesat hilang di balik lantai dua. Nyonya Xi hanya bisa terpaku, beberapa detik kemudian dia meminta maaf pada teman-temannya soal perlakuan Luhan, dan semua kembali seperti semula.

Luhan membanting tas-nya ke sembarang tempat setelah menutup pintu. Menghembuskan nafas panjang, sambil rutukan kecil lolos dari hatinya. Ia tidak bisa ke bawah untuk makan—karena percayalah, makan malam bersama para ibu-ibu arisan benar-benar tidak enak.

Lekas beberapa menit selama ia galau. Jongdae pun menelpon. “Mau makan-tidak, di café tempat Baekhyun bekerja paruh waktu?”

Kernyitan muncul di dahinya, “Sejak kapan Baekhyun—“ dia tahu—mungkin satu sekolah juga—kalau kondisi ekonomi keluarga Byun terbilang cukup berlebihan. Lantas untuk apa Baekhyun bekerja, mengingat bahkan dia baru menginjak umur 15.

“Baekhyun bilang, appa menyuruhnya untuk belajar mencari uang sendiri. Mulai dari nol. Benar-benar nol.” Ujar Jongdae menekankan kata nol sebegitu kuatnya.

“Oke, oke, kau memang penyelamatku!” Luhan langsung memutuskan sambungan, ia bergegas maraih sang jaket dan kunci mobil. Sementara Jongdae tampak dongkol tidak mengerti, kenapa Luhan bilang ia penyelamatnya? Hei, Jongdae bukan bidadari!

 

…}o{…

 

Luhan tidak menyangka bahwa—yah, Baekhyun mengajaknya main basket lagi di taman malam ini. “Luhan! di sini!” Chanyeol mengangkat kedua tangannya tingi-tinggi, teriakannya menggelegar ke seluruh lapangan.

Lelaki yang dipanggil Chanyeol pun bergerak sedikit untuk mengalihkan perhatian lawan, kemudian dengan gesit melempar bola padanya. Chanyeol menerima bola tepat sasaran, di sampingnya ada Baekhyun tengah menghadang. Tapi tinggi mereka yang agak kontras permudahkan cetak point.

“Yess!!!”

Baekhyun—dia jadi tim lawan—terduduk lesu tepat di bawah tiang ring. “Aku menyesal masukan Luhan dan Chanyeol dalam satu tim,” ujarnya membuat kedua laki-laki itu tertawa.

“Bukankah tadi kau sendiri yang bersikeras mau membagi tim-nya?”

“Iya sih, tapi kalian berdua terlalu pro untuk dijadikan satu tim, tahu!”

Chanyeol menyenggol lengan Luhan, dia menarik sudut-sudut bibirnya karena secara tidak langsung Baekhyun telah memuji kekompakan mereka. “Lain kali aku mau se-tim dengan Chanyeol saja.” Lanjut Baekhyun berdiri dan mengambil kunci mobil bersiap untuk pulang.

Namun Jongdae menahannya, dilirknya sekilas sang jam tangan. “Baru jam dua belas, kau mau ke mana?”

“Tentu saja pulang!” ketus Baekhyun yang masih kesal. “Ayolah, kita ulang sekali lagi, nanti aku yang membagi tim-nya.” Jongdae membujuk.

“Ya sudah,”

 

…}o{…

 

Luhan mengeliat malas kala sinar mentari menyorotnya tanpa ampun. Kedua tangannya gegas menarik selimut guna melindungi kepalanya dari matahari.

Tik tok tik tok tik tok…

Kendati hanya dentuman waktu mengiringi paginya yang janggal. Jarum pendek sejatinya telah berlabuh di angka sembilan pagi. Tepat enam puluh menit yang lalu bel masuk sekolah Daeyeong berbunyi. Luhan, kau terlambat bangun!

Luhan tidak bisa kembali ke alam mimpinya, sesuatu hal aneh terasa begitu pekat mengambang di udara.

Pertama, ini hari rabu, Kwon Songsaem akan memakannya hidup-hidup karena tidak masuk sekolah untuk latihan.

Kedua, dia pulang jam dua pagi kemarin—dengan Byun Baekhyun sebagai pemenang pertandingan. Lagi, suara ayah dan ibu yang meninggi tandakan mereka tidak lagi harmonis membuatnya tidak bisa tidur.

Ketiga, nyonya Xi tidak berteriak pagi ini dan menendangnya ke kamar mandi seperti biasa. (Luhan tidak pernah menyalakan jam beker, karena bunyinya terlalu kecil—katanya.)

Keem—

“Astaga!”

Luhan lekas menengok ke atas, pastikan jam tidak berangsur menjadi siang. Tapi takdir memang takdir, nasi sudah jadi bubur. Tinggalkan kedua belah bibirnya yang ternganga, tanpa ekspresi.

Langkah kakinya terayun keluar dari kamar, mendekati dapur lantaran cacing di perutnya sudah cerewet. Kendati, sebuah kertas memo mungil, tertempel apik di tengah-tengah lemari pendingin. Luhan menarik selembaran warna kuning menyala itu, lantas mulai membaca.

“Untuk yang pertama kali dan terakhir, eomma akan berikan kau bolos sekolah satu hari!!”

Tanda seru di bagian terakhir pecahkan cibiran anak itu. “Kemarin-kemarin selalu bersikukuh mengajarkan padaku untuk tidak membolos bagaimanapun juga, ck.”

Diraihnya roti gandum dan selai rasa blueberry. Sarapan jam sembilan pagi agaknya tidak terlalu terlambat, kan? Giginya mengunyah makanan santai, seraya pikirannya melayang-layang tinggi ke permukaan atap rumah.

Latihan basket diadakan siang nanti jam satu, murid-murid yang masuk dalam tim inti diperbolehkan ijin tidak mengikuti pelajaran. Kemarin setelah mendengar hal itu dari pak pelatih, mereka berteriak senang—seperti akan dibebaskan dari penjara saja.

Tapi sudahlah, Luhan bisa datang ke sekolah nanti jam satu. Gunakanlah waktu luangnya khusus hari ini untuk bersenang-senang, seperti main playstation, baca komik, nonton teve. Sejenak, bayang-bayangnya pun dipenuhi tanda tanya lantaran nyonya Xi tidak mencantumkan alasan dia memberikannya hari libur sendiri. Lagipula, tanda-tanda dia hanya sendiri di rumah ini terlalu banyak.

Mungkin ayah dan ibu pergi bersama ke suatu tempat.

 

…}o{…

 

Luhan mematikan mesin mobilnya, sang tungkai pun lekas mengantarkannya ke pintu depan rumah. Hari baru saja bergelut dalam gelap, mentari senja yang berwarna oranye baru hilang beberapa menit yang lalu.

Sebelum tangannya menggenggam daun pintu untuk membuka, ia melirik sedikit si jam tangan dan dapatkan angka tujuh yang ditunjuk jarum pendek. Mereka latihan sampai jam setengah enam sore tadi—agaknya lawan nanti di pertandingan cukup berat.

Masih terlalu pagi untuk pulang, tapi tidak apa. Luhan bisa menghabiskan waktunya dengan duduk santai di depan teve, mengunyam popcorn buatan ibu, dengan surai-surainya yang masih setengah kering habis keramas.

Namun angan-angan rencana itu pun pupus ditelan udara tegang yang menyambutnya semangat kala ia sampai di ruang tengah. Ada ibu, ada ayah, teve tidak menyala, lampu juga mati, biarkan mereka bertiga hanya dicahayai temaram bulan.

Hari ini serasa hari paling aneh sedunia Luhan.

“Eumm…appa, eomma…aku..pulang?” ia biasanya mengucapkan itu lalu langsung naik ke kamar di lantai dua dan mandi. Tapi tidak kali ini, Luhan seperti bertanya dalam kalimat sapaannya.

Tidak ingin berlama-lama berdiri, pun kakinya mengambil dua langkah dan gegas duduk di sofa. Berhadapan dengan ayah dan ibu. “Ada apa ini?” selidiknya.

Tuan Xi menghela nafas berat, sedangkan istrinya hanya bisa menunduk. Tangan tegas itu bergerak mengajukan sebuah kertas dalam amplop cokelat pada Luhan. Namun, sejatinya, anak satu-satunya mereka memilih untuk tidak membuka isinya.

“Luhan, appa tahu ini memang berat. Kau bisa mengunjungi eomma kapanpun kau mau.”

Kerutan mulai bertambah di dahi mulusnya. Seraya sang ayah mengerti bahwa perkataannya tadi tidak cukup mampu menghapus tanda tanya dalam benak Luhan. karena itu dia berniat  menjelaskan lebih lanjut.

“Jadi begini—“

“Kami bercerai.” Sergap nyonya Xi, terlalu lama membuat basa-basi untuk anaknya akan lebih melukainya. Kedua sepasang suami-istri itu menilik ekspresi Luhan yang tidak karuan mendengar berita barusan.

“Eumm…” Luhan kebingungan sendiri, matanya tidak bisa diam dari tadi, terus berputar atau sekedar mencari sesuatu yang sesungguhnya ia tidak tahu apa itu.

“Tidak apa-apa, Luhan. kami akan selalu menjadi orangtua yang utuh untukmu.” Tandang nyonya Xi kemudian.

Sedetik kemudian, Luhan mendongak, menatap kedua orangtuanya tanpa ekspresi. “Jadi kapan kalian bercerai?” pura-pura tegar.

“Sebenarnya kami sudah mengurus ini sebulan yang lalu, sidangnya  dimulai tadi pagi.” Matanya sedikit terbelalak, oh, jadi ini alasannya eomma tidak membangunkan tadi pagi.

“Ooh,” respon tersingkat yang pernah ada. Lewat getar suara menemaninya.

“Jadi aku…harus tinggal sendiri?” dia belum sempat berpikir, hasil yang paling cepat adalah; mereka bercerai, ibu pergi, ayah bekerja.

“Tidak, tentu saja.” Tungkas ayah dan ibu bersamaan.

“Sudah diputuskan, hak asuh jatuh padaku.” Jawab tuan Xi tanpa ragu sedikitpun. Menghasilkan raut tanya besar pada anaknya. “Kenapa?”

“Karena eomma sudah hidup bersamamu sepanjang ini, jadi berikan waktu juga untuk kau tinggal bersama appa.” semuanya jelas, mereka berpisah, ibu akan pergi entah ke mana, lalu ia akan mengikuti ayah ke mana pun ayah bekerja.

Lima menit tidak terasa begitu cepat, malah lama sekali untuk suatu kegiatan yang disebut menunggu. “Oke…

Err… … kalau begitu, aku mau mandi dulu di atas.” Luhan menunjuk arah kamarnya, tanpa sebulir air mata jatuh dipinya. Lantas ia beranjak berdiri dan tungkainya mulai menaiki anak-anak tangga.

“Ohya, aku ada pertandingan besok, lalu ujian akhir semester lusa. Jangan pisah rumah dulu.”

TBC

3 pemikiran pada “Hoffen (Chapter 2)

Leave A Comment Please ^^